Memasuki tahun 2025, ekonomi digital bukan lagi sekadar tren, ia telah menjadi tulang punggung bagi sebagian besar aktivitas ekonomi global. Transformasi ini begitu cepat, hingga batas antara ekonomi konvensional dan digital semakin kabur. Di Indonesia, perubahan ini terasa di segala lini: dari UMKM yang mulai mengandalkan platform online untuk bertahan, hingga korporasi besar yang berlomba-lomba mengadopsi kecerdasan buatan, analitik data, dan otomatisasi proses bisnis.
Namun di tengah laju percepatan ini, muncul pertanyaan penting: siapa yang benar-benar siap menghadapi ekonomi digital 2025, dan siapa yang tertinggal di belakang?
Gelombang Transformasi yang Tak Terhindarkan
Ekonomi digital di Indonesia terus tumbuh pesat. Laporan Google, Temasek, dan Bain mencatat nilai ekonomi digital Indonesia telah melampaui US$ 80 miliar pada 2024, dan diproyeksikan menembus US$ 110 miliar pada 2025. Lonjakan ini terutama ditopang oleh e-commerce, fintech, dan logistik digital.
Di balik angka itu, terdapat perubahan fundamental: cara orang berbelanja, bekerja, dan bertransaksi telah berubah total. Generasi muda tidak lagi berpikir dua kali untuk memesan makanan lewat aplikasi, membayar lewat dompet digital, bahkan berinvestasi lewat platform daring. Sementara itu, perusahaan yang dulunya mengandalkan sistem manual kini dituntut melakukan otomatisasi dan digitalisasi agar tetap relevan.
Bagi mereka yang adaptif, ekonomi digital bukan ancaman, melainkan kesempatan emas untuk tumbuh. Tapi bagi yang masih berpikir analog di dunia digital, perubahan ini bisa terasa seperti badai yang menghapus segala hal yang tidak siap bertransformasi.
Siapa yang Siap?
Mereka yang siap menghadapi ekonomi digital 2025 bukan sekadar yang memiliki modal besar, melainkan yang memiliki mental dan sistem adaptif.
1. UMKM yang Melek Teknologi.
Selama beberapa tahun terakhir, jutaan pelaku usaha mikro dan kecil mulai memanfaatkan platform marketplace dan media sosial untuk menjangkau pelanggan. Banyak dari mereka yang dulunya hanya berjualan di pasar tradisional, kini telah memiliki toko online dan menggunakan sistem pembayaran digital. UMKM yang berani belajar, beradaptasi, dan membangun ekosistem digital kecil-kecilan adalah bukti bahwa kesiapan bukan selalu soal ukuran bisnis, tapi soal pola pikir.
2. Perusahaan yang Mengandalkan Data sebagai Kompas.
Di era digital, keputusan bisnis tidak bisa lagi dibuat berdasarkan intuisi semata. Perusahaan yang mengandalkan data-driven decision making, memanfaatkan insight dari perilaku konsumen, tren pasar, dan performa internal, mampu bergerak lebih cepat dan presisi. Mereka tidak sekadar merespons perubahan, tapi memprediksinya.
Dalam konteks ini, penggunaan AI dan analitik data menjadi kunci utama. Mulai dari optimalisasi rantai pasok, personalisasi layanan pelanggan, hingga peningkatan efisiensi operasional, semuanya berakar pada kekuatan data.
Salah satu contoh nyata datang dari kolaborasi antara pelaku bisnis dan konsultan transformasi digital seperti MAB Consulting, yang membantu organisasi membangun fondasi data yang kuat, menata strategi digital, dan mengubah budaya kerja agar lebih adaptif terhadap perubahan teknologi. Dengan prinsip “In Growth We Trust, Together We Rise,” MAB Consulting memposisikan diri bukan sekadar konsultan, melainkan mitra strategis bagi perusahaan yang ingin tumbuh melalui digitalisasi yang terarah dan berkelanjutan.
3. Tenaga Kerja yang Terampil Secara Digital.
Di sisi lain, transformasi ekonomi digital juga menciptakan kebutuhan besar akan talenta digital. Mereka yang memiliki kemampuan di bidang teknologi informasi, analisis data, pemasaran digital, dan manajemen produk kini menjadi aset berharga. Individu yang terus mengasah skill digital dan adaptif terhadap teknologi baru akan selalu menemukan peluang, bahkan di tengah disrupsi terbesar sekalipun.
4. Pemerintah dan Institusi yang Responsif.
Pemerintah Indonesia mulai menunjukkan langkah serius melalui inisiatif seperti Gerakan Nasional Literasi Digital dan Peta Jalan Indonesia Digital 2021–2024. Langkah-langkah ini membuka jalan bagi peningkatan infrastruktur, regulasi, dan literasi masyarakat.
Pemerintah yang berani mempermudah regulasi digital, melindungi data pribadi, dan mendorong inovasi startup akan menjadi katalis bagi pertumbuhan ekonomi digital yang inklusif.
Siapa yang Tertinggal?
Namun, di balik kemajuan itu, ada juga kelompok yang mulai tertinggal. Ketertinggalan ini bukan hanya soal akses teknologi, melainkan juga cara berpikir dan kecepatan beradaptasi.
1. Bisnis yang Terlalu Nyaman dengan Cara Lama.
Masih banyak pelaku bisnis, terutama di level konvensional, yang menolak digitalisasi karena dianggap rumit atau mahal. Mereka masih bergantung pada sistem manual, tidak memiliki data pelanggan yang rapi, dan menolak beradaptasi dengan platform digital. Sayangnya, pasar tidak menunggu. Konsumen kini menginginkan kecepatan, kenyamanan, dan transparansi, tiga hal ini yang sulit diwujudkan tanpa teknologi.
2. Tenaga Kerja yang Gagal Beradaptasi.
Transformasi digital juga membawa ancaman terhadap pekerjaan tradisional. Pekerjaan yang bersifat rutin dan administratif kini mulai tergantikan oleh sistem otomatisasi dan AI. Tanpa peningkatan keterampilan (upskilling dan reskilling), banyak pekerja akan kehilangan daya saing di pasar kerja baru.
Inilah sebabnya, keterampilan abad ke-21, seperti berpikir kritis, kolaborasi digital, dan literasi teknologi menjadi sangat penting untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
3. Daerah dengan Akses Digital Terbatas.
Kesenjangan digital masih menjadi masalah serius di Indonesia. Banyak daerah pedesaan yang belum memiliki akses internet stabil, padahal mereka menyimpan potensi ekonomi yang besar. Tanpa infrastruktur digital yang memadai, potensi itu akan sulit berkembang. Di sinilah peran pemerintah dan swasta menjadi krusial untuk memastikan transformasi digital berjalan inklusif, bukan eksklusif.
Ekonomi Digital sebagai Arena Kolaborasi
Ekonomi digital 2025 tidak bisa dihadapi sendirian. Ia menuntut kolaborasi lintas sektor: pemerintah sebagai regulator dan fasilitator, dunia usaha sebagai penggerak inovasi, serta masyarakat sebagai pengguna dan pelaku utama.
Namun dalam praktiknya, banyak organisasi yang masih kesulitan memetakan arah transformasi digital mereka. Di sinilah peran MAB Consulting menjadi relevan. Dengan pengalaman mendampingi berbagai sektor, MAB Consulting membantu perusahaan merumuskan strategi digital yang realistis dan terukur, mulai dari membangun ekosistem data, mendesain sistem manajemen digital, hingga menumbuhkan budaya kerja yang adaptif.
MAB Consulting percaya bahwa transformasi digital bukan semata proyek teknologi, tetapi proses perubahan mindset. Pendekatan ini memastikan bahwa digitalisasi tidak berhenti di tataran alat dan sistem, melainkan benar-benar mengubah cara organisasi berpikir, mengambil keputusan, dan menciptakan nilai.
Menatap Masa Depan: Bukan Sekadar Bertahan, tapi Tumbuh
Tahun 2025 menjadi momen pembuktian. Mereka yang siap menghadapi ekonomi digital bukan hanya yang punya teknologi tercanggih, melainkan yang paling cepat belajar dan beradaptasi.
Era ini menuntut kita semua, bisnis, pemerintah, dan individu untuk berpikir ulang tentang cara bekerja, berinovasi, dan berinteraksi. Ekonomi digital bukan hanya soal mesin, algoritma, atau aplikasi, tapi tentang bagaimana manusia memanfaatkan teknologi untuk menciptakan nilai baru.
Perubahan memang menakutkan bagi sebagian orang, tapi ia juga membawa peluang yang tak terbatas bagi mereka yang berani melangkah. Karena pada akhirnya, di dunia digital yang serba cepat, bukan yang kuat yang bertahan, melainkan yang paling mampu beradaptasi.
Dan untuk setiap organisasi yang ingin memastikan langkah transformasinya terarah, kolaborasi dengan mitra strategis seperti MAB Consulting bisa menjadi langkah kunci. Bersama prinsip “In Growth We Trust, Together We Rise,” MAB Consulting membantu bisnis tidak hanya bertahan di era digital, tetapi tumbuh dan memimpin perubahan.