Bisnis, Tips

Peran Pemimpin dalam Penerapan Good Corporate Governance di Era Digital

Selama lebih dari satu dekade mendampingi organisasi dari berbagai sektor dalam proses transformasi digital, saya menyaksikan bagaimana teknologi tidak hanya merevolusi model bisnis, tetapi juga mendefinisikan ulang esensi kepemimpinan. Transformasi ini bukan sekadar pergantian alat, tetapi perubahan paradigma yang menyentuh seluruh aspek organisasi, dari strategi hingga budaya, dari struktur hingga manusia yang terlibat di dalamnya.

Dalam konteks ini, peran seorang pemimpin mengalami pergeseran signifikan. Pemimpin masa kini tidak cukup hanya menjadi pengambil keputusan tertinggi. Mereka dituntut menjadi arsitek perubahan, fasilitator inovasi, penjaga nilai-nilai kemanusiaan, sekaligus pembelajar yang tidak pernah berhenti. Tulisan ini saya susun sebagai refleksi atas pengalaman mendampingi banyak perusahaan menghadapi tantangan transformasi digital dan bagaimana kepemimpinan menjadi faktor pembeda antara yang berhasil dan yang tertinggal.

1. Dari Pengendali Menuju Pemberdaya

Dulu, pemimpin identik dengan sosok pengendali yang mengatur dan memonitor secara ketat. Struktur organisasi bersifat hierarkis, dengan keputusan yang mengalir dari atas ke bawah. Namun, dalam era kepemimpinan transformasi digital menuntut kelincahan dan adaptabilitas tinggi, pendekatan ini semakin tidak relevan.

Model birokratis yang berlapis-lapis kini justru menghambat inovasi. Pemimpin modern perlu beralih dari pendekatan kontrol ke pemberdayaan. Memberikan ruang bagi tim untuk tumbuh, bereksperimen, dan bahkan gagal, adalah langkah strategis untuk menciptakan organisasi yang tangguh.

Saya teringat satu perusahaan startup teknologi yang saya dampingi. Sang CEO secara sadar memilih tidak mengintervensi proses kecil, tetapi fokus membangun kerangka kerja yang mendorong otonomi tim. Hasilnya, mereka berkembang pesat dan menghasilkan solusi inovatif yang tidak muncul dari ruang rapat direksi.

2. Literasi Digital: Kebutuhan Mutlak, Bukan Tambahan

Banyak pemimpin masih menganggap teknologi sebagai urusan “orang IT.” Ini adalah kesalahan mendasar. Transformasi digital adalah bagian integral dari strategi bisnis, bukan proyek teknis semata.

Literasi digital tidak berarti harus mampu menulis kode, tetapi memahami bagaimana teknologi memengaruhi perilaku konsumen, rantai pasok, dan proses kerja internal. Dalam berbagai kasus, kegagalan adopsi teknologi berawal dari ketidaksiapan atau keraguan pemimpin terhadap urgensi perubahan.

Saya sering mendorong klien mengikuti pelatihan digital leadership atau data literacy. Salah satu contoh konkret adalah CEO perusahaan logistik nasional yang awalnya skeptis terhadap teknologi, namun setelah pelatihan singkat, justru menjadi penggerak utama integrasi sistem prediktif dan otomasi, ia berhasil memangkas biaya operasional hingga 30% dalam waktu satu tahun.

3. Budaya Inovasi Harus Dimulai dari Atas

Salah satu kesalahan umum adalah menganggap inovasi sebagai tugas departemen tertentu. Padahal, inovasi adalah budaya yang harus dihidupi seluruh organisasi, dan itu dimulai dari para pemimpin.

Pemimpin perlu menjadi teladan dalam mendukung inovasi, bukan hanya lewat slogan, tetapi dalam praktik: membuka ruang dialog, mendorong eksperimen kecil, dan memberikan toleransi atas kegagalan yang konstruktif.

Dalam banyak organisasi yang saya dampingi, keberhasilan inovasi lebih ditentukan oleh kepemimpinan yang menciptakan lingkungan aman secara psikologis, dibandingkan kecanggihan teknologi yang digunakan.

4. Kepemimpinan Berbasis Data dan Empati

Teknologi menghadirkan limpahan data, tetapi kepemimpinan sejati mengharuskan kita memahami manusia di balik angka-angka tersebut. Saya menyebut pendekatan ini data-driven with empathy.

Satu pengalaman menarik adalah saat saya mendampingi organisasi besar yang mengalami penurunan moral tim. Secara angka, performa mereka terlihat bagus. Namun di balik dashboard, ada kelelahan luar biasa yang memicu lonjakan turnover. Di sinilah pentingnya empati dalam membaca situasi secara utuh.

5. Komunikasi Terbuka dan Otentik

Komunikasi satu arah dan tertutup kini sudah tidak efektif. Karyawan, publik, dan pemangku kepentingan menuntut keterbukaan dan kejujuran. Kepercayaan adalah aset paling berharga sekaligus paling rapuh.

Saya pernah menangani krisis komunikasi di sebuah rumah sakit daerah. Saat itu, Dewan Komisaris (BOC) justru mengambil peran aktif untuk mengungkap masalah secara terbuka, sementara CEO sebagai BOD merespons dengan menginisiasi audit internal demi menjalankan prinsip GCG. Pendekatan terbuka ini berbuah perbaikan sistemik dan pemulihan kondisi keuangan perusahaan secara signifikan.

6. Fokus pada Pengembangan Talenta

Transformasi digital hanya akan berhasil jika diikuti transformasi talenta. Pemimpin perlu menjadikan pengembangan SDM sebagai prioritas strategis melalui reskilling, upskilling, dan penciptaan jalur karier baru.

Saya selalu percaya bahwa investasi terbaik bukan pada alat, tetapi pada manusia. Teknologi bisa ditiru, tetapi talenta yang adaptif dan memiliki mentalitas bertumbuh adalah aset tak tergantikan.

7. Sinergi BOD dan BOC: Pilar GCG yang Berkelanjutan

Transformasi digital membutuhkan harmoni antara Board of Directors (BOD) dan Board of Commissioners (BOC). BOD tidak cukup hanya menjalankan operasional secara efisien; mereka harus mengintegrasikan prinsip digital ke seluruh rantai nilai. BOC pun perlu memahami lanskap disrupsi agar bisa menjalankan fungsi pengawasan strategis secara aktif.

Sinergi ini menjadi fondasi Good Corporate Governance (GCG) yang kokoh. GCG berbasis transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab sosial menjadi prasyarat bagi transformasi digital yang berkelanjutan.

Saya pernah menyaksikan bagaimana sebuah perusahaan energi nasional menghadapi kendala karena minimnya perhatian pada dampak sosial dari program digitalisasi. Setelah BOC menginisiasi evaluasi keberlanjutan, arah transformasi menjadi lebih inklusif dan mendapat dukungan lebih luas dari seluruh elemen organisasi.

Kepemimpinan kolektif yang selaras antar struktur adalah kunci menciptakan sustainable corporation, perusahaan yang tidak hanya mengejar efisiensi dan profit, tetapi juga dampak jangka panjang bagi masyarakat dan lingkungan.

Transformasi digital bukan sekadar tren teknologi, melainkan kenyataan baru yang menuntut pemimpin dengan pola pikir dan pendekatan berbeda. Dunia bergerak cepat. Pemimpin tak bisa lagi hanya mengandalkan struktur dan otoritas, tetapi harus menjadi pembelajar sepanjang hayat, fasilitator kolaborasi, komunikator empatik, dan inspirator timnya.

Saatnya pemimpin berhenti menjadi penonton perubahan, dan mulai menjadi penggeraknya. Karena masa depan organisasi ditentukan oleh keberanian untuk berubah hari ini.

Baca Juga :

1. Peran Penting Konsultan CMA dalam Mendukung kesuksesan Perusahaan

2.Mengakselerasi Bisnis Dengan Filosofi “Your Business Engine Accelerator”

3.Membentuk Pemimpin Hebat Melalui Pengembangan Kepemimpinan

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *